Breaking

LightBlog

Senin, 06 Juni 2016

Mafhum dan Mantuq



MAFHUM DAN MANTUQ
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah :Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : H. UlinNi’am Masruri, Lc, M.A.


Disusun Oleh:
Ahmad Basyari Alwi (1504026131)
Ahmad Barikli Abawaih (1504026133)
        
       FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
TAFSIR DAN HADITS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-qur’an adalah nama wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul dan Nabi yang ummy, yang telah diprofesi atau ramalkan dalam kitab taurat dan injil.
Sejak awal kedatangan kitab ini, serangan terhadapnya datang bertubi-tubi, ia direndahkan derajatnya dengan syair, dihinakan sebagai ocehan orang gila, disamakan dengan sihir, di asosiasikan dengan dongengan kuno,dan masih banyak dakwaan yang lain.
Pukulan gencar itu tidak berhenti setelah hancurnya jahiliyah klasik disaat fathul makkah, akan tetapi berlanjut sampai saat ini, akan tetapi allah menjawabnya dengan memelihara dengan bentuk penyelewengan melalui para pewaris Nabinya, yaitu para Ulama, utamanya yang juga Hamalatul Qur’an. Dengan berbagai disiplin ilmu, disetiap zaman munculah para ulama yang menjelaskan ayat-ayatnya, menafsirkan makna-maknanya, menulis berbagai masalah, dan menguak berbagai rahasianya melalui berbagai cara yang salah satunya adalah dengan mantuq dan mafhum, dan disinilah kami akan mencoba membahas masalah itu.

B. Rumusan  Masalah
1. Apadefinis iMantuq dan macam-macamnya?
2. Apadefinisi Mafhum dan macam-macamnya?
3. Bagaimana kehujjahan Mafhum?












BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Mantuq dan macam-macamnya
Mantuq secara bahasa adalah “sesuatu yang diucapkan”, sedangkan menurut istilah yaitu:
المنطوق : ما دل عليه اللفظ فى محل النطق.
sesuatu (makna) yang ditunjukkan oleh lafadh menurut ucapannya,  yakni penunjukkan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan.
Mantuq itu ada yang berupa Nash dan Dhahir,
Nash (نص) ialah lafad yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang disebutkan secara tegas (sarih), tidak mengandung kemungkinan makna lain. Misalnya firman Allah:
فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فصيامُ ثلاثة أيّامٍ فى الحجِّ و سبعةٍ إذا رجعتم تلكَ عشرةٌ كاملةٌ (البقرة: 196)
“maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apa bila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna…” (Al-Baqarah [2]: 196).
Dhahir (ظهر) ialah lafad yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Jadi, dhahir itu sama dengan nash dalam hal penunjukannya kepada makna yang berdasarkan pada ucapan. Namun dari segi lain ia berbeda dengannya karena Nash hanya menunjukkan satu makna secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan menerima makna lain, sedang Dhahir di samping menunjukkan satu makna ketika diucapkan juga disertai kemungkinan menerima makna lain meskipun lemah. Misalnyafirman Allah:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَاٍد
“ maka  

Lafad “al-baaghi (البغى)” digunakan untuk makna “al-jahil” (bodoh, tidak tahu) dan “az-dalim” (melampaui batas, dalim). Tetapi pemakaian untuk makna kedua lebih tegas dan populer sehingga maknainilah yang kuat (rajih), sedang makna yang pertama lemah (marjuh).
Mu’awwal (مؤول) adalah lafad yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang rajih. Mu’awwal berbeda dengan Dhahir, Dhahir diartikan dengan makna yang rajah sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedang mu’awwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari  makna rajih. Akan tetapi  masing-masing kedua makna itu ditunjukkan oleh lafadh menurut bunyi ucapannya.

Misalnya firman Allah:
وَاخْفِضْ لَهُمَاجَنَاحَ الذَّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ – الإسراء : 24
Lafad “janahaz-dulli” diartikan dengan “tunduk, tawaddu’, dan bergaul secara baik” dengan kedua orang tua, tidak diartikan “sayap”, karena mustahil manusia mempunyai sayap.

B. Definisi Mafhum dan Macam-macamnya

Mafhum ialah makna yang ditunjukan oleh lafadh yang tidak sesuai yang diucapkan, Mafhum ini dapat dibagi dua, yaitu:

1) Mafhum muwafaqoh
ما يوافق حكمه المنطوق
Makna yang menunjukan hukumnya mantuq
. Mafhum muwafaqoh ini terbagi menjadi dua:
a) Fahwal khitab yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih harus diambil hukumnya dari pada mantuq. Misalnya keharaman mencaci-maki dan memukul kedua orang tua yang dipahami dari ayat:
فلا تَقُلْ لَّهُما أُفٍّ (الإسراء: 23)
“maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’…” (al-Isra’ [17]:23).    
Mantuq ayat ini adalah haramnya mengatakan “ah”, oleh karena itu keharaman mencaci maki dan memukul lebih pantas diambil karena keduanya lebih berat.
b) Lahnul khitab yaitu apabila hukum mafhum sama nilainya dengan hukum mantuq. Misalnya adalah firman Allah:
إنّ الذين يأْكلونَ أَمْوالَ اليَتامى ظُلمًا إنَّما يأْكُلونَ فى بطونِهِمْ نارًا (النساء:10)
“sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya…” (an-Nisa’ [4]:10).
Ayat ini menunjukkan pula keharaman membakar harta anak yatim atau menyia-nyiakannya dengan cara pengrusakan yang bagaimanapun juga.

2) Mafhum mukhalafah yaitu makna yang berbeda hukumnya dengan mantuq. Mafhum ini ada empat macam:
a) Mafhum sifat. Yang dimaksud ialah sifat ma’nawi, seperti: musytaq (kata turunan) dalam ayat:

يَا أَيّهُاَ الَّذِيْنَ أمَنُوْا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوْا – الحجرات : 6

“Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti… ” (al-Hujurat [49]:6) . Pengertian yang dipahami dari ungkapan kata “fasiq” (orang fasik) ialah bahwa orang yang tidak fasiq tidak wajib diteliti beritanya.  Ini bararti bahwa berita yang disampaikan oleh seorang yang adil wajib diterima.
b) Mafhum syarat, seperti firman Allah:

وَإِنْ كُنَّ أُولَاتُ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيِهنَّ
“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya” (at-Talaq [65]:6).
Makna atau mafhumnya ialah istri yang dicerai tetapi tidak sedang hamil, tidak wajib diberi nafkah.
c) Mafhum goyah (maksimalitas). Misalnya:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدِ حَتّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ. -

“kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain…” (al-Baqarah [2]:230).
Mafhumnya ialah istri tersebut halal bagi suami pertama sesudah ia nikah dengan suami yang lain, dengan memenuhi syarat-syarat pernikahan.
d) Mafhum hasr (pembatasan, hanya). Misalnya:

إِيّاَكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ.
“Hanya engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada engkaulah kami memohon pertolongan.“ (al-Fatihah [1]:5).
Mafhumnya ialah bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai pertolongan. Oleh karena itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa Dia-lah yang berhak disembah dan dimintai pertolongan.



C. Berhujjah dengan Mafhum
Berhujjah dengan mafhum masih di perselisihkan. Menurut pendapat paling sahih, mafhum-mafhum tersebut boleh dijadikan hujjah (dalil, argumentasi) dengan beberapa syarat, antara lain:
a. Apa yang disebutkan bukan dalam kerangka “kebiasaan” yang umum. Maka kata-kata “yang ada dalam pemeliharaanmu” dalam ayat:
وَرَبَائِبُكُمْ اللَّاتِي فِى حُجُورِكُم
“,,,dan anak-anak perempuan dari istri-istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu..” (an-nisa:23)
Tidak ada mafhumnya, (maksudnya, ayat ini tidak dapat dipahami bahwa anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan ayah tirinya boleh dinikahi) penyebab pada umumnya anak-anak perempuan istri itu berada dalam pemeliharaan suami.

b. Apa yang disebutkan itu tidak untuk menjelaskan suatu realita. Maka tidak ada mafhum bagi firman Allah:
وَمن يَدعُ مَعَ اللهِ اْلَهًا اَخَرَ لاَ بُرْهَانَ لَهُ بِهِ
“Dan barang siapa menyembah tuhan yang lain disamping Allah, padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu (al-mukminun: 117).
Sebab dalam kenyataanya tuhan manapun selain dari Allah tidak ada dalilnya. Jadi kata-kata “padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu” adalah suatu sifat yang pasti yang didatangkan untuk memperkuat realitas dan untuk menghinakan orang yang menyembah tuhan disamping Allah, bukan untuk pengertian bahwa menyembah tuhan-tuhan itu boleh asal dapat ditegakkan dalilnya.
Mengenai berhujjah dengan Mafhum muwafaqoh masalahnya lebih ringan, karena para ulama’ telah sepakat atas keabsahan berhujjah dengannya. Sedangkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah hanya dibenarkan, diakui oleh Malik, Syafi’i dan Ahmad. Sementara Abu Hanifah dan para sahabatnya menolaknya.
Golongan yang mengakui mafhum muhalafah sebagai hujjah mengajukan sejumlah argumen (dalil) naqli dan aqli.

































BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Mantuq dan mafhum adalah metode untuk mengetahui maksud dari lafadh-lafadh dan makna yang ada di al-qur’an, sehingga kita bisa faham apa yang di maksudkan didalamnya, dan apa yang Allah kehendaki didalamnya














DAFTAR PUSTAKA
AS, Mudzakir, Manna’ Khalil al-Qattan: STUDI ILMU-ILMU QUR’AN, (Bogor: PustakaLiteraAntar Nusa, 2012).
HamzahMuchotob, STUDI AL-QUR’AN KOMPREHENSIF, (Yogyakarta: GAMA MEDIA, 2003)
Sayid Muhammad Ibn ‘Alawi Al-Maliki Al-Hasani, Al-Qowaid Al-Asasiyah Fi ‘Ulumil Qur’an,  As-Shofwah, Malang,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox