KONSEP TAKDIR
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu
Tauhid
Dosen Pengampu : Drs.
H. Achmad Bisri, M.Ag
Disusun Oleh:
Miftahul Huda (1504026130)
Ahmad Basyari Alwi (1504026131)
FAKULTAS USHULUDDIN DAN
HUMANIORA
TAFSIR DAN HADITS
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDUHULUAN
A.
Latar Belakang
Takdir adalah
suatu ketetapan akan kehidupan garis seseorang. Setiap orang lahir punya
catatan/skenario perjalanan kehidupannya dari awal dan akhir. Hal ini
dinyatakan dalam Qur’an bahwa segala sesuatu yang terjadi terhadap diri
seseorang sudah tertulis dalam induk kitab. Namun pemahaman seperti ini tidak
bisa berdiri sendiri atau belum lengkap karena dengan hanya memahami seperti
tersebut diatas dapat menyebabkan seseorang bingung untuk menjalani hidup dan
menyikapinya. Kesadaran manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan
kelemahan dirinya. Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia
itu ialah ketidak tahuannya akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang
sebenarnya akan terjadi. Kemampuan berfikirnya memang dapat membawa dirinya kepada
perhitungan proyeksi dan perencanaan yang canggih. Namun setelah diusahakan
realisasinya tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manusia hanya tahu
takdirnya setelah terjadi. Oleh sebab itu, sekiranya manusia menginginkan
perubahan kondisi dalam menjalani hidup di dunia ini, diperintah Allah untuk
berusaha dan berdo’a untuk merubahnya. Usaha perubahan yang dilakukan oleh
manusia itu, kalau berhasil seperti yang diinginkannya maka Allah melarang kita
sombong karena hasil usaha sendiri, dan apabila kita gagal setelah berusaha
janganlah kita putus asa.
B.
Rumusan Masalah
1)
apa yang dimaksud dengan takdir?
2)
Bagaimana konsep takdir itu?
3)
Bagaimana pendapat manusia tentang takdir?
4)
Siapakah golongan yang sesat dalam memahami takdir?
5)
Bagaiman hubungan iman kepada taqdir dan tawakkal?
6)
Bagaimanakah konsep takdir dalam peningkatan mutu sumber
daya manusia?
7)
Apa saja manfaat iman kepada takdir Allah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Iman Kepada Qadar/Taqdir
Seseorang meyakini
dan memepercayai bahwa Allah itulah yang menjadikan segala makhluknya dengan
kodrat (kekuasaan), iradat (kehendak).
Percaya bahwa bahwa
Allah mempunyai beberapa sunah/hukum dalam menciptakan makhluknya. Sunah/hukum
Allah ini tetap berlaku sepanjang masa, dan tidak akan berubah-ubah.[1]
Dalam percaya
kepada taqdir ini ada dua kata yang selalu berkaitan dan harus dibicarakan
secara bersama-sama, qadar dan qadha’. Tetapi didalam memberikan pengertian
keduannya para cendekiawan telah berbeda pandangan.
Al-Asy’ari
mengertikan sebagai berikut: Qadha’ ialah kehendak Allah dalam azali yang akan
berlaku atas sesuatu yang telah ditetapkan padanya. Qadar ialah perwujudan
sesuatu menurut kadar tertentu dan bentuk tertentu pula sesuai dengan kehendak
Allah.
Syekh Abul Wafa’
Muhammad Darwisi dalam bukunya “Al Qadha’u wal Qadar” mengatakan: Qadar ialah
peraturan umum yang diciptakan Allah untuk menjadi dasar alam ini yang
didalamnya terdapat hubungan sebab dan akibat. Qadha’ ialah berlakunya pengaruh
sunnah itu diluar, yakni perwujudan alam dan terlaksananya qadar Allah baginya.
Jadi singkatnya menurut keduanya, qadar adalah ketentuan dan qadha’ adalah
perwujudannya. Berbeda pandangan dengan (Al Asyari) yang mengatakan: qadha’
adalah ketentuan dan qadar adalah perwujudannya. Kita disini baiklah memakai
pandangan yang umum saja, yaitu: qadar adalah ketentuan dan qadha’ adalah
perwujudannya.[2]
B.
Konsep takdir
Islam mengenal takdir dengan sebutan qadha’ dan qadar.
Sebagian ulama’ menafsirkan qadha’ sebagai hubungan sebab akibat dan qadar
sebagai ketentua Allah sejak zaman azali. Jadi secara singkat qadha’ adalah
pelaksanaan dalam tataran operasional yang dipilih oleh manusia untuk
selanjutnya menemui qadarnya dan akhirnya menentukan nilai dari amal
perbuatannya.
Takdir adalah suatu yang sangat
gaib, sehinnga kita tak mampu mengetahui takdir kita sedikitpun. Yang dapat
kita lakukan hanyalah berusaha dan berusaha.
Takdir itu memiliki empat tingkatan
yang semuannya wajib diimani, yaitu:
a.
Al-‘Ilmu, bahwa seseorang harus menyakini bahwa Allah
mengetahui segala sesuatu yang baik secara global maupun terperinci. Dia
mengetahui apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi.
Sebagaimana
firman Allah:
* ¼çnyYÏãur ßxÏ?$xÿtB É=øtóø9$# w !$ygßJn=÷èt wÎ) uqèd 4 ÞOn=÷ètur $tB Îû Îhy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur 4 $tBur äÝà)ó¡n@ `ÏB >ps%uur wÎ) $ygßJn=÷èt wur 7p¬6ym Îû ÏM»yJè=àß ÇÚöF{$# wur 5=ôÛu wur C§Î/$t wÎ) Îû 5=»tGÏ. &ûüÎ7B ÇÎÒÈ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci
semua yang gaib, tidak ada yang mengetahui kecuali dia sendiri, dan dia
mengetahui apa yang didaratan dan dilautan, dan tiada sehelai daunpun yang
gugur melainkan dua mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam
kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan
tertulis dalam kitab yang nyata” (QS. Al-an’am:59)
b.
Al-Kitabah, bahwa Allah mencatat semua itu dalam Lauhil
mahfudz, sebagaimana firmannya:
óOs9r& öNn=÷ès? cr& ©!$# ãNn=÷èt $tB Îû Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 3 ¨bÎ) Ï9ºs Îû A=»tFÏ. 4 ¨bÎ) y7Ï9ºs n?tã «!$# ×Å¡o ÇÐÉÈ
“apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya
Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan dibumi? bahwasannya yang
semikian itu terdapat dalam sebuah kitab. Sesungguhnya yang demikian itu amat
mudah bagi Allah” (QS. Al-Hajj:70)
c.
Al-Masyiah (kehendak), kehendak Allah ini bersifat umum.
Bahwa tidak ada sesuatupun dilangit maupun dibumi melainkan terjadi dengan
iradat/masyiah Allah SWT.
!$yJ¯RÎ) ÿ¼çnãøBr& !#sÎ) y#ur& $º«øx© br& tAqà)t ¼çms9 `ä. ãbqä3usù ÇÑËÈ
“sesungguhnya keadaannya apabila dia
menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadannya: Jadilah!” maka terjadilah ia”
(QS. Yasin:82)
d.
Al-Khalqu, bahwa tidak sesuatupun dilangit dan dibumi
melainkan Allah sebagai penciptannya, pengaturnya dan menguasainnya, dalam
firmannya dijelaskan:
!$¯RÎ) !$uZø9tRr& øs9Î) |=»tFÅ6ø9$# Èd,ysø9$$Î/ Ïç7ôã$$sù ©!$# $TÁÎ=øèC çm©9 úïÏe$!$# ÇËÈ
“sesungguhnya kami menurunkan
kepadamu kitab dengan kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan
keta’atan kepadan-Nya” (QS. Az-Zumar:2)
C.
Beberapa pendapat manusia tentang taqdir
Pendapat manusia
tentang taqdir ini telah menjadi bersimpang siur Syekh Abul Wafa’ Muhammad
Darwisi mengemukakan 6 golongan dalam soal ini, tetapi saya hanya mengemukakan
3 poin saja dari 6 golomhan tersebut.
1)
Golongan pertama berkeyakinan, bahwa manusia berkuasa atas
dan bebas dalam perbuatan-perbuatannya. Dan manusia untuk mewujudkannya sendiri
yang telah terdapat didalam dirinya sebelum adanya perbuatan itu.
2)
Golongan kedua berpendapat, bahwa manusia banyak
bergantung dan tunduk kepada kekuasaan mutlak Tuhan. Manusia dalm hal ini
adalah robot.
3)
Golongan ketiga berpendapat, bahwa dalam hal ini ada
semacam hubungan sebab akibat.
Tetapi pada umumnya orang membagi kepada tiga golongan
saja, yaitu:
a.
Golongan Qadariyah, yaitu salah satu dari golongan
mu’tazilah. Golongan ini menolak adanya taqdir di dalam perbuatan dan
usaha-usaha manusia. Mereka berpendapat bahwa manusia sendirilah yang
menciptakan dan menguasai perbuatan-perbuatannya, baik kebaikan, maupun
keburukan. Manusia dalam segala usahanya terlepas dari qodrat yang maha Esa.
Pelopor golongan ini adalah Wasil bin Atha’ (699-748 M).
b.
Golongan jabariyah, yaitu golongan yang berpendapat,
bahwa makhluk ini tidak mempunyai kehendak dan pilihan sendiri dalam segala
perbuatannya. Semua perbuatan makhluk Tuhanlah yang menghendakinya baik yang
baik maupun yang buruk. Makhluk itu seakan-akan selembar bulu ditengah-tengah
lapangan luas, akan bergerak kesana kemari mengikuti tiupan angin. Manusia tidak punya ikhtiar. Faham ini diduga
didirikan oleh orang Yahudi yang bernama Thalud bin A’sam, dengan tujuan untuk
merusak keyakinan dari dalam.[3]
c.
Ahlus Sunnah mempunyai pendapat tengah-tengah antara
kedua pendapat tersebut diatas. Manusia mempunyai kebebasan kehendak,
kekuasaan, dan mempunyai pengetahuan (knowledge), tetapi terbatas sampai batas
tertentu yang ditentukan Allah.[4]
D.
Golongan yang sesat dalam memahami takdir
Ada
dua golongan yang tersesat dalam memahami takdir:
Pertama: golongan jabariyah:
mereka mengatakan seorang hamba terpaksa (dikendalikan) dalam perbuatan dan tindakannya.
Manusia tidak memiliki kehendak dan kemampuan.
Kedua: golongan
qadariyah: mereka mengatakan seorang hamba mempunyai kehendak, kemauan dan
keinginan sendiri tanpa ada campur tangan kehendak dan kekuasaan Allah. Hamba
itu sendirilah yang menciptakan perbuatan tersebut.[5]
E.
Hubungan iman kepada taqdir dan tawakkal
Dari uraian tentang iman kepada qadar dan qadha’ Allah
diatas, jelaslah bahwa iman kita kepada qadar dan qadha’ Allah tidaklah berarti
kita harus bersikap pasif atau menyerah kepada nasib/keadaan yang kita hadapi tanpa
ada usaha (ikhtiar) untuk mengatasi/memperbaiki/mengubahnya, agar nasib/keadaan
kita bisa berubah sesuai dengan apa yang kita kehendaki.
Menyerah kepada nasib/keadaan tanpa
ada usaha itu bertentangan dengan ajaran “Iman kepada taqdir dan qadha’”,
bahkan bertentangan pula dengan ajaran Islam tentang “tawakkal”. Tawakkal ialah
mewakilkan (menyerahkan) asib diri dan nasib usaha kita kepada Allah, sedang
kita sendiri tidak mengurangi usaha dan tenaga dalam usaha itu. Jika tercapai
maksud kita, Allah lah yang punya karunia. Dan jika gagal, Allah lah yang punya
kuasa.[6]
F.
Konsep Takdir dalam Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia
Berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia, takdir
adalah pengetahuan sempurna yang dimiliki Allah tentang seluruh kejadian masa
lalu ataupun masa depan. Kebanyakan orang mempertanyakan bagaimana Allah dapat
mengetahui peristiwa yang belum terjadi. Hal ini membuat mereka gagal dalam
memahami takdir. Kejadian itu bukanlah kejadian yang belum terjadi, hanya saja
belum dialami oleh manusia. Allah tidak terikat ruang ataupun waktu, karena
dialah pencipta keduanya.
Masyarakat
berkeyakinan bahwa Allah menentukaan takdir setiap manusia, tetapi terkadang
takdir ini dapat diubah oleh manusia itu sendiri.
Takdir itu ada dua macam; 1. Takdir
Mubram yaitu takdir Allah yang
tidak dapat dirubah, tidak dapat memilih serta tidak memiliki kemampuan untuk
mengubahnya. Takdir mubram ini terdapat dalam Sunnatullah yang ada didalam raya
ini. Salah satu contohnya perjalanan matahari, bulan dan planet-planet lainnya
sesuai dengan ketentuan yang sudah ditentukan Allah.
2. Takdir Muallaq yaitu takdir yang dapat dirubah, dan manusia diberi akal dan
hati nurani untuk memilihnya, karena pada prinsipnya dalam kehidupan ini, ada
sisi positif dan negatif yang akan selalu mengkikuti perjalanan panjang
manusia. Sisi positif dan negatif tersebut disebut dengan takdir dalam kontek
takdir Muallaq. Contohnya Alwi dan Huda ingin jadi pengusaha sukses. Ada Dua
faktor dalam takdir Muallaq ini; 1. Kesungguhan usaha/ikhtiyar
seorang hamba
tA$s%ur ãNà6/u þÎTqãã÷$# ó=ÉftGór& ö/ä3s9 4 ¨bÎ) úïÏ%©!$# tbrçÉ9õ3tGó¡o ô`tã ÎAy$t6Ïã tbqè=äzôuy tL©èygy_ úïÌÅz#y ÇÏÉÈ
“sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum
kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka” QS.
13:11. 2. Kesungguhan do’a suatu hamba. Dan tuhan berfirman: “Berdoalah
kepada-ku, niscaya akan kuperkenankan bagimu” (QS. Al-Mukmin :60).
mereka ya harus
belajar dengan tekun, ulet, tidak mudah putus asa ,dan selalu berusaha. Akhirnya
mereka menjadi pengusaha sukses. Maka dari itu untuk meningkatkan mutu sumber
daya manusia sudah seharusnya kita berusaha dan berdoa. Bukan hanya
mengandalkan doa saja maupun hanya berusaha saja. Antara doa dan usaha haruslah
seimbang.
Tanpa keduanya semua tidak ada artinya. Jika tidak ada ikhtiar dari manusia
maka takdir menjadi tidak bermakna. Begitu sebaliknya jika tidak ada takdir
maka ikhtiar manusia akan sia-sia. Maka dengan adanya keyakinan terhadap takdir
maka akan menjadi kekuatan yang dapat membangkitkan semangat kerja, gairah
berusaha dan sebagai dorongan yang positif untuk meraih kesuksesan hidup.[7]
G. Manfaat/hikmah Iman Kepada Takdir
Inti
dari segala ilmu Tauhid atau keimanan pada akhirnya terletak atas iman kepada
takdir, sebagai titik akhir sikap penyerahan diri seorang muslim atas ketentuan
Tuhan. Sebagai konsekuensinya mempercayai dan meyakini wujudnya Tuhan dan
penerimaan atas segala hukum dan ketentuannya.
Adapun
hikmah atau manfaat iman kepada takdir antara lain :
1)
Mendorong untuk
menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh.
2)
Mendorong untuk
berusaha lebih sungguh-sungguh dari masa ke masa
3)
Membuat hidup
lebih tenang dan sabar dalam menghadapi segala macam persoalan.
4)
Membebaskan
manusia dari berbagai macam penyakit rohani seperti iri, sombong, nifaq, malas
dan sebagainya.
5)
Menyuburkan
dalam diri manusia segala macam sifat-sifat yang
baik, seperti ikhlas, kasih sayang, rajin, tawakal, mencukupkan apa yang ada,
dan lain sebagainya.
6)
Dapat mendorong seseorang untik bersiakp berani dalam
menegakkan keadilan dan kebenaran, dan dalam meninggikan “kalimah Allah”
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Takdir adalah
pengetahuan abadi kepunyaan Allah. Dia yang memahami waktu sebagai kejadian
tunggal dan dia yang meliputi keseluruan ruang dan waktu. Bagi Allah, segalanya
telah ditentukan dan sudah selesai dalam sebuah takdir. Berdasarkan hal-hal
yang sudah diungkap dalam Al-Qur’an, kita juga dapat memahami bahwa waktu
bersifat tunggal bagi Allah. Kejadian yang bagi kita terjadi di masa mendatang,
digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai kejadian yang telah lama berlalu.
Peristiwa-pristiwa yang terjadi di alam raya ini, dan sisi kejadiannya, dalam
kadar atau ukuran tertentu, dan itulah yang disebut takdir. Tidak ada yang
terjadi sesuatu tanpa takdir, termasuk manusia. Peristiwa-peristiwa tersebut
berada dalam pengetahuan dan ketentuan tuhan, yang keduannya menurut sementara
ulama’ dapat disimpulkan dalam istilah Sunnatullah, atau yang sering secara
salah kaprah disebut “hukum-hukum alam”.
DAFTAR PUSTAKA
Masjfuk Zuhdi. STUDI ISLAM JILID 1: AKIDAH,
(Jakarta:CV. Rajawali, 1988).
Syahminan Zaini. KULIAH AQIDAH ISLAM,
(Surabaya:Al Ikhlas, 2010).
Rasyid Ridha, TAFSIR AL MANAR, Juz IV,(Daru
al-Manar, Mesir, 1373 H).
Maulana Muhammad Ali, THE RELIGION OF
ISLAM,(Pakistan,1950).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. ULASAN
TUNTAS TENTANG TIGA PRINSIP POKOK, (Jakarta:YAYASAN AL SOFWA,2010).
[1] Masjfuk Zuhdi. STUDI ISLAM JILID 1:
AKIDAH, (Jakarta:CV. Rajawali, 1988). Hlm. 99
[2] Syahminan Zaini. KULIAH AQIDAH
ISLAM, (Surabaya:Al Ikhlas, 2010). Hlm. 361
[3] Syahminan Zaini. KULIAH AQIDAH ISLAM,
(Surabaya:Al Ikhlas, 2010). Hlm.365-368
[4] Maulana Muhammad Ali, THE RELIGION OF
ISLAM,(Pakistan,1950). Hlm. 348
[5] Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin. ULASAN TUNTAS TENTANG TIGA PRINSIP POKOK, (Jakarta:YAYASAN AL SOFWA,
2010). Hlm. 191
[6] Rasyid Ridha, TAFSIR AL MANAR, Juz IV,(Daru
al-Manar, Mesir, 1373 H) Hlm. 207-210.
[7]Syahminan Zaini. KULIAH AQIDAH ISLAM,
(Surabaya:Al Ikhlas, 2010). Hlm. 378
[8] Masjfuk Zuhdi. STUDI ISLAM JILID
1: AKIDAH, (Jakarta:CV. Rajawali, 1988). Hlm. 105
Tidak ada komentar:
Posting Komentar