Breaking

LightBlog

Selasa, 07 Juni 2016

Hadits Maudhu'


HADITS MAUDHU’
Disusun Untuk Memenuhi Tugas: Ilmu Hadits
Dosen Pengampu: Muhammad Rikza Muqtada, M. Hum



Oleh:
Ahmad Basyari Alwi    (1504026131)
Ahmad Barikli Abawaih (1504026133)

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
JURUSAN TAFSIR HADITS
UNIVERSITAS NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada zaman Nabi, boleh dikatakan tidak ada pemalsuan hadits, sebab nabi bersikap tegas sekali dalam menegakkan kebenaran dan keadilan dalam memberantas segala macam kebohongan dan kepalsuan. Pada masa pemerintahan Abu Bakar (tahun 632 M- 634 M), Umar bin Khattab (tahun 634 M- 644 M) beliau sangat teliti dan hati-hati terhadap peneriman dan penyampaian ajaran-ajaran Nabi. Beliau juga menyerukan kepada seluruh umat Islam agar hati-hati dan waspada di dalam menerima dan menyampaikan hadits-hadits Nabi. Khalifah tidak segan-segan mengambil tindakan terhadap siapapun yang tidak mengindahkan seruan dan perintah dari khalifah kedua tersebut.
Terpaksa dilakukan demi menjaga kemurnian ajaran-ajaran nabi dan menghindari kemungkinan penyalahgunaan oknum yang tidak bertanggungjawab terhadap hadits-hadits Nabi untuk tujuan politik. Karena itu pada masa ini dapat dikatakan belum ada pemalsuan hadits.
Pada masa khalifah Utsman bin Affan (tahun 644 M- 656 M) dari pengikut-pengikut Abdullah bin Saba’ (seorang munafik yang ulung) telah berani melancarkan fitnah dan provokasi dikalangan umat Islam dan untuk menimbulkan kebencian umat Islam kepada khalifah yang sah, sehingga menyebutkan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan (tahun 656 M) mereka telah berani membuat kebohongan dalam ajaran-ajaran Nabi (pemalsuan hadits).



B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Hadits Maudhu’?
2. Sejarah kemunculan, latar belakang, dan perkembanganya?
3. Karakteristik kepalsuan Hadits pada sanad?
4. Karakteristik kepalsuan Hadist pada matan?
C. Tujuan masalah
1. Menjelaskan pengertian hadits msudhu’.
2. Bagaimana sejarah, latar belakang dan perkembangan hadist maudhu’.
3. Menyebutkan ciri hadist maudhu’ secara matan.
4. Menyebutkan ciri-ciri hadist maudhu’ secara sanad.












BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian hadits maudhu’
Secara bahasa maudhu’ berasal dari isim maf’ul dari wazan وضع - يضع yang berarti menaruh, meletakan.
Adapun pengertian hadits maudhu’ menurut istilah muhaditsin adalah:
هو نسب إلي رسول الله صلي الله عليه وسلم إختلاقا وكذبا مما لم يقله أو يفعله أو يقره.
“sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW secara mengada-ada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun beliau taqrirkan.”
Dan pengertian tersebut dikuatkan pula oleh pendapat syeh baiquni dalam kitabnya “nadhom baiquniyyah” dijelaskan:
والكذب المختلق المصنوع      على النبى فذلك الموضوع              
“ Suatu kebohongan yang diada-ada dan yang dibuat atas Nabi maka itu dinamakan maudhu’. ”
"( الموضوع ) أي الذي نسبه الكذبون المفترون إلي رسول الله صلى الله عليه وسلم"              
“ dan maksud Maudhu’ disini yaitu sesuatu yang mana orang banyak berbohong dan suka berbuat kebohongan yang mana hal itu dinisbatkan kepada Nabi SAW.”


B. Sejarah Kemunculan,Latar Belakang dan Perkembanganya
1. Sejarah kemunculan
  Para ahli berbeda pendapat tentang awal mula kemunculan hadits maudhu’.
Ahmad Amin berpendapat bahwa hadis maudhu’ telah ada pada masa Nabi dengan alasan pemahaman terhadap hadits mutawatir yang mengancam orang yang berdusta kepada Nabi SAW dengan neraka
من كذب علي فليتبواء مقعده من النار..
“ barang siapa berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dineraka”.
Menurutnya, hadits ini memberikan gambaran bahwa kemungkinan besar pada masa Nabi telah terjadi pemalsuan hadits. Berdasarkan pendapat Amin ini, hadits bermasalah telah ada semenjak masa Nabi tidak hanya hadits dha’if saja berstatus diragukan kebenaranya tetapi hadits palsu yang jelas-jelas tidak berasal dari Nabi sudah ada pada saat itu. Hanya saja pendapat ini kelemahan baik dilihat dari bukti historis, sikap sahabat terhadap segala yang berasal dari Nabi, data-data hadits palsu, maupun hadits yang dijadikan dasar argumentasi.
Menurut Shalah al-Din al-Adhabi, pemalsuan hadits itu terjadi jika maksud pengertian kata al-wadh’ (pemalsual) sebagai kebohongan semata kepada Rasulullah yang dipraktikan oleh orang-orang munafik, sehingga tidak menutup kemungkinan diantara mereka ada yang berdusta dengan kedok dan menyandarkan kedustaan itu pada Rasulullah. Akan tetapi jika yang dimaksud dengan pemalsuan adalah praktik yang amat luas dalam rangka memasukan berbagai kebohongan dalam hadists Nabi, maka Shalah al-Din setuju dengan pendapat jumhur ulama, bahwa pemaluan hadits terjadi pada masa ‘Ali ibn Abi Thalib (35-40 H).
Pendapat yang ketiga ini disepakati mayoritas ulama hadits bahwasanya hadits maudhu’ pertama kali dibuat pada masa khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib setelah terjadi fitnah dikalangan umat muslim.
2. Latar belakang
Adapun hal-hal yang melatar belakangi penyebab pemalsuan hadits-hadits palsu antara lain:
a) Pertikaian politik
Sebagaimana telah dijelaskan, perpecahan politik dikalangan umat muslim yang dimulai semenjak masa ‘Ali ibn Abi Thalib (35-40 H) berdampak negatif terhadap keberadaan hadits Nabi dengan dibuatnya hadits-hadits palsu untuk mendukung faksi masing-masing golongan. Namun tidak semua yang terlibat dalam pemalsuan, hanya segelintir orang yang terjerumus didalamnya. Seperti: Abd Al-Karim ibnu Auja’.
b) Siasat musuh-musuh islam
Para musuh islam yang terlibat dalam pemalsuan hadits dikenal dengan kaum zindik, mereka masuk islam dalam rangka menghancurkan dari dalam karena dalam menghancurkan secara fisik, misal dalam kekuatan militer tidak mungkin dilakukan mengingat negara islam telah kuat. Maka dari itu ahirnya mereka membuat hadits-hadits palsu dan kurang lebih ada 14.000 hadit yang sudah mereka buat.
Diantara hadits yang mereka buat:
أنا خاتم النبيين لا نبي بعدي إن شاء الله
“ aku adalah penutup para Nabi dan tidak ada Nabi sesudahku, insya Allah (jika Allah menghendaki).”(Abd Al-Karim ibnu Auja’)


c) Fanatisme mazhab fiqih dan kalam
Perselisihan mazhab tidak jarang menjerumuskan pengikutnya yang fanatik kedalam pembuatan hadits palsu. Dalam bidang fiqih misalnnya, terjadi kasus seorang pengikut mazhab abu hanifah yang bernama Muhammad ibn ‘Akasyah, ketika mengetahui pengikut lain mengangkat tangan sebelum dan sesudah ruku’ dalam shalat, ia kemudian menyampaikan hadits palsu yang dibuat oleh Ma’mun ibn Ahmad: “ telah bercerita kepada kami al-Musyyib ibn Wadih…dari anas bahwa Nabi bersabda:
من رفع يديه في الركوع فلا صلاة له
“ barang siapa mengangkat kedua tanganya diwaktu ruku’, maka tidak sah shalatnya”.
Dan dibidang kalam terjadi perbedaan tentang qadim  tidaknya al-Qur’an, kaum mu’tazilah berbendapat bahwa al-Qur’an itu tidak qadim, ia baru diciptakan. Sedangkan ahli hadits, yang diwakili Ahmad ibn Hambal, berpendapat bahwa al-Qur’an itu kalam Allah, kalam Allah merupakan salah satu sifatnya. Untuk memperkuat pendirian mereka, kelompok kedua membuat hadits palsu, misalnya:
من قال القران مخلوق فقد كفر
“ barang siapa mengatakan al-Qur’an itu makhluk, maka ia kafir”. (fanatik pada Madzhab Syafi’i)
d) Keinginan berbuat baik tanpa dasar pengetahuan agama
Hadits palsu ada yang dibuat untuk tujuan menjadikan manusia lebih taqwa kepada Allah, hadits kategori ini dibuat oleh orang shalih yang ilmu pengetahuanya dangkal terutama tentang hadits, dengan maksud untuk mendorong manusia berbuat baik dan mencegah mereka dari berbuat jahat. Dengan membuat hadits itu, mereka menyangka telah berbakti kepada agama islam karena membuat orang banyak yang senang beribadah dan taat kepada Allah.
الدنيا حرام على اهل الاخرة والاخرة حرام على اهل الدنيا و الدنيا و الاخرة حرام على اهلا الله.
“ dunia ini haram bagi ahli ahirat, dan ahirat ini haram bagi ahli dunia, sedang dunia dan akhirat haram bagi ahli Alllah “.
3. Perkembangannya
masuknya agama lain secara massal kedalam islam merupakan akibat dari keberhasilan dakwah islamiyah keseluruh pelosok dunia, secara tidak langsung menjadi faktor munculnya hadits-hadits palsu. Pada masa pemerintahan sayidina Ustman bin Affan (w 35 H), golongan ini yang menebar benih-benih fitnah yang pertama, dan orang itu adalah Abdullah bin Saba’, seorang yahudi yang menyatakan memeluk islam. Namun penyebaran hadits maudhu’ pada masa ini belum begitu meluas karena masih banyak sahabat yang masih hidup dan mengetahui dengan penuh yakin akan kepalsuan itu. Walaupun begitu, golongan ini terus mencari-cari peluang yang ada.
Setelah terjadinya pembunuhan Ustman bin Affan, kemudian munculah golongan-golongan, seperti golongan yang ingin menuntut balas akan kematian ustman, golongan yang mendukung ‘Ali, dan golongan yang tidak mendukung keduanya.
Setelah zaman sahabat berlalu, penelitian dan penilaian terhadap hadits-hadits Nabi mulai melemah, ini menyebabkan banyaknya periwayatan dan penyebaran hadits yang berdusta kepada Rasulullah dan sebagian sahabat, ditambah lagi dengan adanya konflik politik diantara umat islam yang semakin hebat, sehingga hal itu membuka peluang kepada golongan tertentu yang mencoba bersekongkol untuk memalsukan hadits. Walaupun begitu, tahap penyebaran hadits-hadits maudhu’ pada masa ini masih lebih kecil dibandingkan dengan zaman-zaman berikutnya, hal ini karena masih banyaknya tabiin yang menjaga hadits-hadits dan menjelaskan diantara yang lemah dan yang saheh, dan juga karena zaman ini masih dianggap hampir sezaman dengan Nabi SAW, dan disebut oleh Nabi sebagai diantara sebaik-baik zaman, pengajaran serta wasiat dari Nabi masih segar dikalangan mereka, yang menyebabkan mereka dapat menganalisis kepalsua-kepalsuan suatu hadits,  dan setelah itu mereka membuat suatu ketentuan-ketentuan untuk mengetahui ciri-ciri  hadits maudhu’ yang terdapat pada sanad maupun pada matanya.
Tanda-Tanda Hadits Maudhu’

Sebagaimana ulama’ membuat undang-undang untuk mengetahui mana hadits yang shahih, mana hadits yang hasan dan mana hadits yang dha’if, mereka juga membuat undang-undang untuk mengetahui hadits maudhu’ (palsu).
Tanda-tanda ke-maudhu’-an hadits terbagi dua. Pertama, tanda-tanda yang diperoleh pada sanad, dan kedua, tanda-tanda ang diperoleh pada matan.

C. Tanda-Tanda Pada Sanad

Banyak sekali tanda-tanda ke-maudhu’-an hadits pada sanad. Berikut kami terangkan yang penting-penting saja, diantaranya:

a. Pengakuan perawi sendiri.
Abu ishmah nuh ibn abi maryam mengaku sendiri bahwa ia telah memalsukan hadits mengenai keutamaan surat-surat Al-Qur’an. Demikian pula abd al-karim ibn abi al-auja yang mengaku telah membuat 4.000 hadits yang mengenai hukum halal dan haram.
b. Menurut sejarah mereka tidak mungkin bertemu. Perawi yang meriwayatkan suatu hadits dari seorang syaikh yang tidak pernah berjumpa, atau iya dilahirkan sesudah syaikh tersebut meninggal, atau tidak pernah ia datang ke tempat syaikh itu, yang dikatakannya di sanalah ia mendengar hadits.
Ma’mun ibn Ahmad as-sarawy mengaku kepada ibn Hibban bahwa ia mendengar hadits dari Hisyam ibn Ammer. Maka ibn Hibban bertanya, “Kapankah engkau ke kota syam?”
Ma’mun menjawab, “Pada tahun 250 H.” Mendengar itu ibn Hibban berkata, “Hisyam meninggal dunia tahun 245 H.”
Pokok pegangan kita dalam menghadapi soal ini adalah kitabkitab tentang Tarikh Rijal, seperti kitab Mizan al-I’tidal karya Adz-Dzahaby.
c. Keadaan perawi-perawi sendiri serta adana dorongan membuat hadits. Dapat juga diketahui bahwa hadits itu maudhu’ dengan memperhatikan keadaan-keadaan qarinah yang mengelilingi perawi kala ia meriwayatkan hadits tersebut.
Sebagai contoh, diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitabnya dari Saif ibn Amr Ath-Thayiby, ujarna, “Pada suatu hari kami berada ditempat Sa’ad ibn Tharif. Maka datanglah anaknya terengah-engah sambil menangis. Sa’ad bertanya, “mengapa engkau?” anaknya menjawab, “saya dipukul oleh guru.” Saat itu Sa’ad mengeluarkan sebuah hadits, seraya berkata, “saya akan menjelekkan pekerti itu. Diriwayatkan kepadaku oleh Ikrimah dari Abbas dari nabi SAW.:
“Guru anak-anak itu adalah orang-orang yang paling buruk pekertinya dari kamu. Mereka paling kurang menyayangi anak-anak yatim dan paling sesat hatinya terhadap orang-orang misikin.

Tanda-Tanda Pada Matan
Tanda-tanda pada matan pun banyak pula, ang pling diingat ialah:
a. Buruk susunannya dan lafalnya. Hal ini diketahui sesudah kita mendalami Ilmu Bayan.
Memang apabila telah rapat pergaulan kita dengan hadits, terasa keindahan susunan hadits dan terasa pula susunan yang tidak mungkin keluarnya dari lidah Nabi SAW.
b. Rusak maknanya
1) Karena berlawanan dengan norma-norma akhlaq, atau menyalahi kenyataan, seperti hadits:
“Tidak dilahirkan seorang anak sesudah tahun seratus yang ada padanya keperluan bagi Allah”.
2) Karena berlawanan dengan ilmu kedokteran, seperti hadits:
“Buah terong itu penawar bagi segala penyakit”.
3) Karena berlawanan makna hadits dengan soal-soal yang mudah dicerna akal dan tidak dapat pula kita Ta’wilkan, seperti hadits:
“Bahtera Nuh berthawaf tujuh kali keliling Ka’bah dan bershalat di maqam Ibrahim dua rakaat.”
c. Menyalahi keterangan Al-Qur’an yang terang, keterangan sunnah mutawatirah dan kaidah-kaidah kulliyah.
Apabila suatu hadits menyalahi sharih Al-Qur’an dan tidak dapat dita’wilkan, dihukumi maudhu’. Umpamanya hadits:
“Anak hasil zina tidak masuk ke surga hingga tujuh keturunan.”
Hadits ini menyalahi firman:
“Dan tidak seseorang yang bersalah memikul kesalahan orang lain.”
Sebenarnya hukum ang dikehendaki hadits itu diambil dari At-Taurat.
d. Menyalahi hakikat sejarah yang telah terkenal dimasa Nabi SAW.
Umpamanya, hadits yang menerangkan bahwa Nabi SAW memberatkan jizyah atas penduduk-penduduk Khaibar dengan disaksikan oleh Sa’ad dan dituliskan oleh Mu’awiyyah ibn Abi Sufyan. Padahal menurut riwayat yang benar, jizyah belum lagi diundangkan pada waktu itu. Soal jizyah baru diundangkan sesudah peperangan Tabuk. Sa’ad meninggal sebelum itu pada tahun peperangan Khandaq. Mu’awiyah masuk Islam sesudah Nabi SAW mengalahkan Makkah.
Dan seperti hadits yang dikatakan dari Anas bahwa Nabi SAW berkata:
“Sesungguhnya saya haramkan masuk ke dalam tempat mandi umum dengan tidak memakai kain.”

















BAB III
PENUTUP

A. kesimpulan

1. Hadits maudhu’ adalah hadits yang bukan bersumber dari Nabi atau dengan kata lain bukan merupakan hadits Rasul, tetapi perkataan atau perbuatan sesorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan yang kemudian dinisbatkan kepada Rasul.
2. Hadits maudhu, baru berkembang ketika kekhalifahan ‘Ali atau setelah meninggalnya sahabat Ustman.
3. Hadits maudhu’ dapat diketahui melalui beberapa kriteria, baik itu tanda-tanda dari sanad maupun dari matan.


B. Saran

Dengan selesainya makalah ini, diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan kita sebagai mahasisiwa mengenai hadits maudhu’, sehingga kita bisa membedakan mana yang hadits dan mana yang tidak.















DAFTAR PUSTAKA

Idri, Studi Hadits, Kencana, Prenada Media Group, Jakarta.
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyah, Jakarta, Januari 1989..
M. Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, CV. Pustaka Setia, Bandung.
Syekh Baiquni, Taqrirat Nadham Baiquniyah, Lirboyo.
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu Hadits, Semarang, PT. Rizki Putra, 2013 (cetakan ketiga)
Masjupuk, Pengantar Ilmu Hadits, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1993.
















Uraian makalah Ulumul Hadits:
A. Apa ide pokok dalam tema makalah yang anda tulis?
Secara bahasa maudhu’  berarti menaruh, meletakan. Secara istilah sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW secara mengada-ada dan dusta yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun beliau taqrirkan. Sejarah kemunculan hadits maudhu’ terjadi pada masa Ali bin Abi Thalib (35-40 H). Yang melatar belakangi pemalsuan hadits-hadits palsu antara lain: pertikaian politik, siyasat musuh-musuh Islam, fanatisme Madzhab fiqih dan kalam, keinginan berbuat baik tanpa dasar pengetahuan agama.
Tanda-tanda keMaudhu’an terbagi dua:
1. Tanda-tanda pada sanad: pengakuan perawi sendiri, menurut sejarah mereka tidak mungkin bertemu, keadaan perawi-perawi sendiri serta adanya dorongan membuat hadits.
2. Tanda-tanda pada matan: buruk susunan dan lafadnya, rusak maknanya, menyalahi hakikat sejarah yang telah terkenal dimasa nabi SAW, sesuai hadits dengan madzhab yang dianut oleh perawi sedangakn perawi itu pula orang yang sangat fanatik kepada madzhabnya.

B. Apa yang menarik atau yang problematik dari pembahasan tema makalah anda? Mengapa?
Yang menarik adalah tentang faktor-faktor yang melatar belakangi, karena disitu kita bisa mengetahui karena hadits maudhu’ itu tercipta. Diantara dari faktor-faktor itu adalah:
a. Pertikaian politik
Pada masa Ali yaitu pada tahun 35-40 H terjadi perpecahan politik dikalangan umat muslim. Hal itu berdampak negatif terhadap keberadaan hadits Nabi, banyak hadits-hadits palsu yang dibuat untuk mendukung faksi/golongan masing-masing. Diantara orang-orang yang membuat hadits palsu adalah Abd Al-Karim ibnu Auja’.
b. Siasat musuh-musuh Islam
Kaum zindik adalah kaum yang dikenal sebagai pemalsu hadits, mereka masuk Islam dengan tujuan menghancurkan Islam dari dalam. Karena mengahancurkan Islam secara fisik, dengan kekuatan militer misalnya sangat tidak memungkinkan karena negara Islam telah kuat. Oleh sebab itu mereka mengambil jalan dengan membuat hadits-hadits palsu, yang berjumlah kurang lebih 14000 hadits.
Diantara hadits yang mereka buat:
أنا خاتم النبيين لا نبي بعدي إن شاء الله
 “ aku adalah penutup para Nabi dan tidak ada Nabi sesudahku, insya Allah (jika Allah menghendaki).”(Abd Al-Karim ibnu Auja’)
c. Fanatisme madzhab fiqih dan kalam
Pengikut madzhab yang fanatik tidak jarang sampai membuat hadits palsu untuk membenarkan madzhab yang dianutnya. Dalam madzhab fiqih terjadi kasus seorang yang bernama Ibnu ‘Akasyah pengikut madzhab Imam Hanafi, ketika mengetahui pengikut lain mengangkat tangan sebelum dan sesudah rukuk dalam shalat, kemudian ia menyampaikan sebuah hadits palsu yang dibuat oleh Ma’mun ibn Ahmad: “ telah bercerita kepada kami al-Musyyib ibn Wadih dari Anas bahwa Nabi bersabda:
من قال القران مخلوق فقد كفر
“ barang siapa mengangkat kedua tanganya diwaktu ruku’, maka tidak sah shalatnya”
Dalam bidang kalam terjadi perbedaan pendapat tentang qadim tidaknya Al Qur’an, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Al Qur’an adalah mahluk. Sedangkan ahli hadits yang di wakili Ahmad bin Hanbal, berpendapat bahwa Al Qur’an adalah qodim. Untuk menguatkan pendapat mereka, kelompok kedua membuat hadis palsu, misalnya :
d. Keinginan berbuat baik tanpa dasar agama
Selain tujuan diatas yang lebih berbau negatif, ada pula motif pembuatan hadits yang bermaksud positif. Yakni dengan tujuan  menjadikan manusia lebih bertaqwa kepada Allah. Hadits ini di buat oleh orang shalih yang berpengetahuan agama dangkal terutama dalam bidang hadits. Mereka bermaksud mndorong manusia berbuat baik dan mencegah dalam brbuat jahat. Dengan membuat hadits itu mereka mengira telah berbakti kepada agama islam karena membuat orang banyak yang senang beribadah dan taat kepada Allah. Misalnya:
الدنيا حرام على اهل الاخرة والاخرة حرام على اهل الدنيا و الدنيا و الاخرة حرام على اهلا الله.
“ dunia ini haram bagi ahli ahirat, dan ahirat ini haram bagi ahli dunia, sedang dunia dan akhirat haram bagi ahli Alllah “.
C. Apa yang perlu dikembangkan dari tema makalah yang anda angkat (baik secara teoritis, metodologis, maupun aplikatif)? Bagaimana langkahnya?



D. Apa kontribusi makalah anda bagi studi keislaman?
1. Sebagai khazanah pengetahuan tentang hadits maudhu’ bagi masyarakat.
2. Untuk dipelajari agar kita dan masyarakat Islam tahu kalau hadits itu bukan shahih semua, melainkan ada yang palsu.
3. Agar kita bisa mengetahui mana hadits palsu dan shahih.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox