Breaking

LightBlog

Senin, 06 Juni 2016

Konsep Takdir


KONSEP TAKDIR
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Tauhid
Dosen Pengampu : Drs. H. Achmad Bisri, M.Ag



Disusun Oleh:
                                                Miftahul Huda             (1504026130)
 Ahmad Basyari Alwi  (1504026131)
                                               
FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
TAFSIR DAN HADITS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDUHULUAN
A.    Latar Belakang
Takdir adalah suatu ketetapan akan kehidupan garis seseorang. Setiap orang lahir punya catatan/skenario perjalanan kehidupannya dari awal dan akhir. Hal ini dinyatakan dalam Qur’an bahwa segala sesuatu yang terjadi terhadap diri seseorang sudah tertulis dalam induk kitab. Namun pemahaman seperti ini tidak bisa berdiri sendiri atau belum lengkap karena dengan hanya memahami seperti tersebut diatas dapat menyebabkan seseorang bingung untuk menjalani hidup dan menyikapinya. Kesadaran manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan kelemahan dirinya. Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah ketidak tahuannya akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi. Kemampuan berfikirnya memang dapat membawa dirinya kepada perhitungan proyeksi dan perencanaan yang canggih. Namun setelah diusahakan realisasinya tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manusia hanya tahu takdirnya setelah terjadi. Oleh sebab itu, sekiranya manusia menginginkan perubahan kondisi dalam menjalani hidup di dunia ini, diperintah Allah untuk berusaha dan berdo’a untuk merubahnya. Usaha perubahan yang dilakukan oleh manusia itu, kalau berhasil seperti yang diinginkannya maka Allah melarang kita sombong karena hasil usaha sendiri, dan apabila kita gagal setelah berusaha janganlah kita putus asa.
B.     Rumusan Masalah
1)      apa yang dimaksud dengan takdir?
2)      Bagaimana konsep takdir itu?
3)      Bagaimana pendapat manusia tentang takdir?
4)      Siapakah golongan yang sesat dalam memahami takdir?
5)      Bagaiman hubungan iman kepada taqdir dan tawakkal?
6)      Bagaimanakah konsep takdir dalam peningkatan mutu sumber daya manusia?
7)      Apa saja manfaat iman kepada takdir Allah?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Iman Kepada Qadar/Taqdir
Seseorang meyakini dan memepercayai bahwa Allah itulah yang menjadikan segala makhluknya dengan kodrat (kekuasaan), iradat (kehendak).
Percaya bahwa bahwa Allah mempunyai beberapa sunah/hukum dalam menciptakan makhluknya. Sunah/hukum Allah ini tetap berlaku sepanjang masa, dan tidak akan berubah-ubah.[1]
Dalam percaya kepada taqdir ini ada dua kata yang selalu berkaitan dan harus dibicarakan secara bersama-sama, qadar dan qadha’. Tetapi didalam memberikan pengertian keduannya para cendekiawan telah berbeda pandangan.
Al-Asy’ari mengertikan sebagai berikut: Qadha’ ialah kehendak Allah dalam azali yang akan berlaku atas sesuatu yang telah ditetapkan padanya. Qadar ialah perwujudan sesuatu menurut kadar tertentu dan bentuk tertentu pula sesuai dengan kehendak Allah.
Syekh Abul Wafa’ Muhammad Darwisi dalam bukunya “Al Qadha’u wal Qadar” mengatakan: Qadar ialah peraturan umum yang diciptakan Allah untuk menjadi dasar alam ini yang didalamnya terdapat hubungan sebab dan akibat. Qadha’ ialah berlakunya pengaruh sunnah itu diluar, yakni perwujudan alam dan terlaksananya qadar Allah baginya. Jadi singkatnya menurut keduanya, qadar adalah ketentuan dan qadha’ adalah perwujudannya. Berbeda pandangan dengan (Al Asyari) yang mengatakan: qadha’ adalah ketentuan dan qadar adalah perwujudannya. Kita disini baiklah memakai pandangan yang umum saja, yaitu: qadar adalah ketentuan dan qadha’ adalah perwujudannya.[2]
B.     Konsep takdir
Islam mengenal takdir dengan sebutan qadha’ dan qadar. Sebagian ulama’ menafsirkan qadha’ sebagai hubungan sebab akibat dan qadar sebagai ketentua Allah sejak zaman azali. Jadi secara singkat qadha’ adalah pelaksanaan dalam tataran operasional yang dipilih oleh manusia untuk selanjutnya menemui qadarnya dan akhirnya menentukan nilai dari amal perbuatannya.
            Takdir adalah suatu yang sangat gaib, sehinnga kita tak mampu mengetahui takdir kita sedikitpun. Yang dapat kita lakukan hanyalah berusaha dan berusaha.
            Takdir itu memiliki empat tingkatan yang semuannya wajib diimani, yaitu:
a.       Al-‘Ilmu, bahwa seseorang harus menyakini bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang baik secara global maupun terperinci. Dia mengetahui apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi.
Sebagaimana firman Allah:
* ¼çnyYÏãur ßxÏ?$xÿtB É=øtóø9$# Ÿw !$ygßJn=÷ètƒ žwÎ) uqèd 4 ÞOn=÷ètƒur $tB Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur 4 $tBur äÝà)ó¡n@ `ÏB >ps%uur žwÎ) $ygßJn=÷ètƒ Ÿwur 7p¬6ym Îû ÏM»yJè=àß ÇÚöF{$# Ÿwur 5=ôÛu Ÿwur C§Î/$tƒ žwÎ) Îû 5=»tGÏ. &ûüÎ7B ÇÎÒÈ  
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib, tidak ada yang mengetahui kecuali dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang didaratan dan dilautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan dua mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata” (QS. Al-an’am:59)
b.      Al-Kitabah, bahwa Allah mencatat semua itu dalam Lauhil mahfudz, sebagaimana firmannya:
óOs9r& öNn=÷ès? žcr& ©!$# ãNn=÷ètƒ $tB Îû Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 3 ¨bÎ) šÏ9ºsŒ Îû A=»tFÏ. 4 ¨bÎ) y7Ï9ºsŒ n?tã «!$# ׎Å¡o ÇÐÉÈ  
“apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan dibumi? bahwasannya yang semikian itu terdapat dalam sebuah kitab. Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” (QS. Al-Hajj:70)
c.       Al-Masyiah (kehendak), kehendak Allah ini bersifat umum. Bahwa tidak ada sesuatupun dilangit maupun dibumi melainkan terjadi dengan iradat/masyiah Allah SWT.
!$yJ¯RÎ) ÿ¼çnãøBr& !#sŒÎ) yŠ#ur& $º«øx© br& tAqà)tƒ ¼çms9 `ä. ãbqä3uŠsù ÇÑËÈ  
“sesungguhnya keadaannya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadannya: Jadilah!” maka terjadilah ia” (QS. Yasin:82)
d.      Al-Khalqu, bahwa tidak sesuatupun dilangit dan dibumi melainkan Allah sebagai penciptannya, pengaturnya dan menguasainnya, dalam firmannya dijelaskan:
!$¯RÎ) !$uZø9tRr& šøs9Î) |=»tFÅ6ø9$# Èd,ysø9$$Î/ Ïç7ôã$$sù ©!$# $TÁÎ=øƒèC çm©9 šúïÏe$!$# ÇËÈ  
“sesungguhnya kami menurunkan kepadamu kitab dengan kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta’atan kepadan-Nya” (QS. Az-Zumar:2)
C.    Beberapa pendapat manusia tentang taqdir
Pendapat manusia tentang taqdir ini telah menjadi bersimpang siur Syekh Abul Wafa’ Muhammad Darwisi mengemukakan 6 golongan dalam soal ini, tetapi saya hanya mengemukakan 3 poin saja dari 6 golomhan tersebut.
1)      Golongan pertama berkeyakinan, bahwa manusia berkuasa atas dan bebas dalam perbuatan-perbuatannya. Dan manusia untuk mewujudkannya sendiri yang telah terdapat didalam dirinya sebelum adanya perbuatan itu.
2)      Golongan kedua berpendapat, bahwa manusia banyak bergantung dan tunduk kepada kekuasaan mutlak Tuhan. Manusia dalm hal ini adalah robot.
3)      Golongan ketiga berpendapat, bahwa dalam hal ini ada semacam hubungan sebab akibat.
Tetapi pada umumnya orang membagi kepada tiga golongan saja, yaitu:
a.       Golongan Qadariyah, yaitu salah satu dari golongan mu’tazilah. Golongan ini menolak adanya taqdir di dalam perbuatan dan usaha-usaha manusia. Mereka berpendapat bahwa manusia sendirilah yang menciptakan dan menguasai perbuatan-perbuatannya, baik kebaikan, maupun keburukan. Manusia dalam segala usahanya terlepas dari qodrat yang maha Esa. Pelopor golongan ini adalah Wasil bin Atha’ (699-748 M).
b.      Golongan jabariyah, yaitu golongan yang berpendapat, bahwa makhluk ini tidak mempunyai kehendak dan pilihan sendiri dalam segala perbuatannya. Semua perbuatan makhluk Tuhanlah yang menghendakinya baik yang baik maupun yang buruk. Makhluk itu seakan-akan selembar bulu ditengah-tengah lapangan luas, akan bergerak kesana kemari mengikuti tiupan angin. Manusia  tidak punya ikhtiar. Faham ini diduga didirikan oleh orang Yahudi yang bernama Thalud bin A’sam, dengan tujuan untuk merusak keyakinan dari dalam.[3]
c.       Ahlus Sunnah mempunyai pendapat tengah-tengah antara kedua pendapat tersebut diatas. Manusia mempunyai kebebasan kehendak, kekuasaan, dan mempunyai pengetahuan (knowledge), tetapi terbatas sampai batas tertentu yang ditentukan Allah.[4]
D.    Golongan yang sesat dalam memahami takdir
Ada dua golongan yang tersesat dalam memahami takdir:
Pertama: golongan jabariyah: mereka mengatakan seorang hamba terpaksa (dikendalikan) dalam perbuatan dan tindakannya. Manusia tidak memiliki kehendak dan kemampuan.
Kedua: golongan qadariyah: mereka mengatakan seorang hamba mempunyai kehendak, kemauan dan keinginan sendiri tanpa ada campur tangan kehendak dan kekuasaan Allah. Hamba itu sendirilah yang menciptakan perbuatan tersebut.[5]
E.     Hubungan iman kepada taqdir dan tawakkal
Dari uraian tentang iman kepada qadar dan qadha’ Allah diatas, jelaslah bahwa iman kita kepada qadar dan qadha’ Allah tidaklah berarti kita harus bersikap pasif atau menyerah kepada nasib/keadaan yang kita hadapi tanpa ada usaha (ikhtiar) untuk mengatasi/memperbaiki/mengubahnya, agar nasib/keadaan kita bisa berubah sesuai dengan apa yang kita kehendaki.
            Menyerah kepada nasib/keadaan tanpa ada usaha itu bertentangan dengan ajaran “Iman kepada taqdir dan qadha’”, bahkan bertentangan pula dengan ajaran Islam tentang “tawakkal”. Tawakkal ialah mewakilkan (menyerahkan) asib diri dan nasib usaha kita kepada Allah, sedang kita sendiri tidak mengurangi usaha dan tenaga dalam usaha itu. Jika tercapai maksud kita, Allah lah yang punya karunia. Dan jika gagal, Allah lah yang punya kuasa.[6]
F.     Konsep Takdir dalam Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia
Berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia, takdir adalah pengetahuan sempurna yang dimiliki Allah tentang seluruh kejadian masa lalu ataupun masa depan. Kebanyakan orang mempertanyakan bagaimana Allah dapat mengetahui peristiwa yang belum terjadi. Hal ini membuat mereka gagal dalam memahami takdir. Kejadian itu bukanlah kejadian yang belum terjadi, hanya saja belum dialami oleh manusia. Allah tidak terikat ruang ataupun waktu, karena dialah pencipta keduanya.
Masyarakat berkeyakinan bahwa Allah menentukaan takdir setiap manusia, tetapi terkadang takdir ini dapat diubah oleh manusia itu sendiri.
Takdir itu ada dua macam; 1.  Takdir Mubram yaitu takdir Allah yang tidak dapat dirubah, tidak dapat memilih serta tidak memiliki kemampuan untuk mengubahnya. Takdir mubram ini terdapat dalam Sunnatullah yang ada didalam raya ini. Salah satu contohnya perjalanan matahari, bulan dan planet-planet lainnya sesuai dengan ketentuan yang sudah ditentukan Allah.
2. Takdir Muallaq yaitu takdir yang dapat dirubah, dan manusia diberi akal dan hati nurani untuk memilihnya, karena pada prinsipnya dalam kehidupan ini, ada sisi positif dan negatif yang akan selalu mengkikuti perjalanan panjang manusia. Sisi positif dan negatif tersebut disebut dengan takdir dalam kontek takdir Muallaq. Contohnya Alwi dan Huda ingin jadi pengusaha sukses. Ada Dua faktor dalam takdir Muallaq ini; 1. Kesungguhan usaha/ikhtiyar seorang hamba
tA$s%ur ãNà6š/u þÎTqãã÷Š$# ó=ÉftGór& ö/ä3s9 4 ¨bÎ) šúïÏ%©!$# tbrçŽÉ9õ3tGó¡o ô`tã ÎAyŠ$t6Ïã tbqè=äzôuy tL©èygy_ šúï̍Åz#yŠ ÇÏÉÈ  
“sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka” QS. 13:11. 2. Kesungguhan do’a suatu hamba. Dan tuhan berfirman: “Berdoalah kepada-ku, niscaya akan kuperkenankan bagimu” (QS. Al-Mukmin :60).
 mereka ya harus belajar dengan tekun, ulet, tidak mudah putus asa ,dan selalu berusaha. Akhirnya mereka menjadi pengusaha sukses. Maka dari itu untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia sudah seharusnya kita berusaha dan berdoa. Bukan hanya mengandalkan doa saja maupun hanya berusaha saja. Antara doa dan usaha haruslah seimbang. Tanpa keduanya semua tidak ada artinya. Jika tidak ada ikhtiar dari manusia maka takdir menjadi tidak bermakna. Begitu sebaliknya jika tidak ada takdir maka ikhtiar manusia akan sia-sia. Maka dengan adanya keyakinan terhadap takdir maka akan menjadi kekuatan yang dapat membangkitkan semangat kerja, gairah berusaha dan sebagai dorongan yang positif untuk meraih kesuksesan hidup.[7]
G.     Manfaat/hikmah Iman Kepada Takdir
Inti dari segala ilmu Tauhid atau keimanan pada akhirnya terletak atas iman kepada takdir, sebagai titik akhir sikap penyerahan diri seorang muslim atas ketentuan Tuhan. Sebagai konsekuensinya mempercayai dan meyakini wujudnya Tuhan dan penerimaan atas segala hukum dan ketentuannya.
Adapun hikmah atau manfaat iman kepada takdir antara lain :
1)            Mendorong untuk menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh.
2)            Mendorong untuk berusaha lebih sungguh-sungguh dari masa ke masa
3)            Membuat hidup lebih tenang dan sabar dalam menghadapi segala macam persoalan.
4)            Membebaskan manusia dari berbagai macam penyakit rohani seperti iri, sombong, nifaq, malas dan sebagainya.
5)            Menyuburkan dalam diri manusia segala macam sifat-sifat yang baik, seperti ikhlas, kasih sayang, rajin, tawakal, mencukupkan apa yang ada, dan lain sebagainya.
6)            Dapat mendorong seseorang untik bersiakp berani dalam menegakkan keadilan dan kebenaran, dan dalam meninggikan “kalimah Allah”
7)            Dapat menimbulkan ketenangan jiwa dan pikiran pada diri seseorang.[8]









BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Takdir adalah pengetahuan abadi kepunyaan Allah. Dia yang memahami waktu sebagai kejadian tunggal dan dia yang meliputi keseluruan ruang dan waktu. Bagi Allah, segalanya telah ditentukan dan sudah selesai dalam sebuah takdir. Berdasarkan hal-hal yang sudah diungkap dalam Al-Qur’an, kita juga dapat memahami bahwa waktu bersifat tunggal bagi Allah. Kejadian yang bagi kita terjadi di masa mendatang, digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai kejadian yang telah lama berlalu. Peristiwa-pristiwa yang terjadi di alam raya ini, dan sisi kejadiannya, dalam kadar atau ukuran tertentu, dan itulah yang disebut takdir. Tidak ada yang terjadi sesuatu tanpa takdir, termasuk manusia. Peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan dan ketentuan tuhan, yang keduannya menurut sementara ulama’ dapat disimpulkan dalam istilah Sunnatullah, atau yang sering secara salah kaprah disebut “hukum-hukum alam”.

DAFTAR PUSTAKA
Masjfuk Zuhdi. STUDI ISLAM JILID 1: AKIDAH, (Jakarta:CV. Rajawali, 1988).

Syahminan Zaini. KULIAH AQIDAH ISLAM, (Surabaya:Al Ikhlas, 2010).
Rasyid Ridha, TAFSIR AL MANAR, Juz IV,(Daru al-Manar, Mesir, 1373 H).
Maulana Muhammad Ali, THE RELIGION OF ISLAM,(Pakistan,1950).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. ULASAN TUNTAS TENTANG TIGA PRINSIP POKOK, (Jakarta:YAYASAN AL SOFWA,2010).


[1] Masjfuk Zuhdi. STUDI ISLAM JILID 1: AKIDAH, (Jakarta:CV. Rajawali, 1988). Hlm. 99
[2] Syahminan Zaini. KULIAH AQIDAH ISLAM, (Surabaya:Al Ikhlas, 2010). Hlm. 361
[3] Syahminan Zaini. KULIAH AQIDAH ISLAM, (Surabaya:Al Ikhlas, 2010). Hlm.365-368
[4] Maulana Muhammad Ali, THE RELIGION OF ISLAM,(Pakistan,1950). Hlm. 348
[5] Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. ULASAN TUNTAS TENTANG TIGA PRINSIP POKOK, (Jakarta:YAYASAN AL SOFWA, 2010). Hlm. 191                                                                                                                                                                                 
[6] Rasyid Ridha, TAFSIR AL MANAR, Juz IV,(Daru al-Manar, Mesir, 1373 H) Hlm. 207-210.
[7]Syahminan Zaini. KULIAH AQIDAH ISLAM, (Surabaya:Al Ikhlas, 2010). Hlm. 378
[8] Masjfuk Zuhdi. STUDI ISLAM JILID 1: AKIDAH, (Jakarta:CV. Rajawali, 1988). Hlm. 105

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox